Sedikit Info Seputar
Inilah Kisah Politik Kekuasaan dan Penyebaran Islam di Pedalaman Jawa
Terbaru 2017
- Hay gaes kali ini team Informasi Seputar Android, kali ini akan membahas artikel dengan judul Inilah Kisah Politik Kekuasaan dan Penyebaran Islam di Pedalaman Jawa, kami selaku Team Informasi Seputar Android telah mempersiapkan artikel ini untuk sobat sobat yang menyukai Informasi Seputar Android. semoga isi postingan tentang
Artikel Berita,
Artikel Islam,
Artikel Kabar,
Artikel Muslim,
Artikel Terkini, yang saya posting kali ini dapat dipahami dengan mudah serta memberi manfa'at bagi kalian semua, walaupun tidak sempurna setidaknya artikel kami memberi sedikit informasi kepada kalian semua. ok langsung simak aja sob
Judul:
Berbagi Info Seputar
Inilah Kisah Politik Kekuasaan dan Penyebaran Islam di Pedalaman Jawa
Terbaru
link: Inilah Kisah Politik Kekuasaan dan Penyebaran Islam di Pedalaman Jawa
Berbagi Inilah Kisah Politik Kekuasaan dan Penyebaran Islam di Pedalaman Jawa Terbaru dan Terlengkap 2017
Pada wawancara ini, Hermanu memaparkan fakta liatnya jaringan ulama di selatan (pedalaman) Jawa. Menurut dia, meski terus-menerus ditekan, misalnya dengan peristiwa pembantaian ulama semasa Raja Amangkurat I dan peristiwa kekalahan Pangeran Diponegoro, jaringan ini malah semakin solid dan kuat. Bahkan, semenjak dahulu jaringan ulama ini sudah terkoneksi dengan jaringan ulama internasional.
Wawancara ini (judull sebelumnya: [Mengalir Bersama Sungai Santri Bengawan Solo') kami muat kembali dengan masksud merespons perkembangan isu soal ke Islaman dan juga dengan maksud memberikan pencerahan kepada publik. Pesannya, penyebaran Islam di Nusantara itu jelas bukan hal mudah. Tantangan politik kekuasaan selalu hadir dan berkelindan. Bukan hanya itu, tantangan sosialnya juga bukanlah perkara gampang untuk ditundukan.
Sebenarnya dari manakah asal usul jaringan ulama yang ada di selatan Jawa Tengah, atau yang memanjang dari Pacitan sampai Cilacap?
Menurut saya, asal jaringan itu berasal dari ‘satu pohon’, yakni bermula dari Maulana Malik Ibrahim (hidup pada masa awal Wali Songo sekitar abad 15 M) yang berada di Jawa Timur itu. Jadi, asal usul pemikiran pesantren berasal dari sana. Lalu, kemudian berkembang. Tapi, Islam di Jawa sudah ada sejak abad ke-10, 11 M (sedangkan Islam tiba di Sumatra sudah ada sejak abad ke-8 Masehi).
Tapi, patut diketahui Islam masuk ke Indonesia itu ada dalam dua versi. Pertama, versi Islam yang masuk ke Sumatra, dan satu versi lainnya masuk dari Campa ke Jawa. Inilah yang harus dipertimbangkan bahwa ketika Cina dan Campa masuk ke Jawa, Islam di Jawa mempunyai dua kultur, yakni kultur Arab, Cina, dan Jawa. Tiga kultur ini menjadi satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat yang ada di pesisir selatan Jawa itu. Inilah yang harus dipahami dulu karena memang ada perbedaan masyarakat Jawa yang tinggal di pantai utara dan selatan tersebut.
Masyarakat Jawa yang tinggal di utara itu egalitarian dan kosmopolitan. Ini berbeda dengan yang di selatan. Nah, ketika Demak runtuh, masyarakat pun pindah ke pedalaman yang berada di selatan, yakni mendirikan kerajaan di Mataram Islam di Kota Gede. Jadi, ketika berada di sana, kultur Islam yang ada tidak lagi egaliter dan kosmopolitan, tetapi menuju masyarakat yang tertutup dan feodal.
Lalu jaringan ulamanya seperti apa?
Dari jaringan ulama yang tersebar itu adalah jaringan ulama yang berasal dari Giri (Sunan Giri) sebagai kelanjutan dari Maulana Malik Ibrahim tersebut. Dan kalau dibuka berbagai manuskrip, terlihat bahwa jaringan ini pernah dihancurkan oleh Sunan Amangkurat I dan II. Namun, meski luluh lantak, jaringan ini ternyata tidak padam. Ulama yang berhasil lolos dari pembantaian itu kemudian pergi mengembara atau berkelana ke berbagai wilayah yang ada di selatan Jawa Tengah itu, seperti ke Purwokerto, Banyumas, Kedu Selatan, dan sekitarnya.
Nah, isi jaringan inilah yang tumbuh begitu kental dan sangat liat ketika menyebarkan Islam dan kemudian juga ketika mereka melawan penjajah Belanda. Selain itu, jaringan ini juga punya kecenderungan berani melawan raja atau penguasa yang pro-Belanda. Kalau sudah seperti itu, apa yang dikatakan Peter Carey itu benar bahwa bila semenjak dahulu itu Solo adalah pusat Islam.
Bukan hanya itu, orang-orang Yogyakarta ketika belajar Islam juga ke kota itu. Bahkan, Solo pernah punya raja yang sangat kuat Islamnya (sangat santri), yakni Paku Buwono IV. Raja ini pernah menginginkan menghapus perjanjian antara Paku Buwono III dan Belanda ketika ayahnya itu wafat. Nah, saat hendak membatalkan perjanjian itu, dia memanggil semua ulama yang selama ini berada dalam jaringan keraton. Jumlah ulama keraton ini banyak sekali. Mereka tersebar dan tinggal di sepanjang tepian Bengawan Solo. Namun, sayang usaha ini gagal.
Maka, kalau kita lihat dalam 'Babad Pakepung', di sana ada satu episode di mana para ulama itu harus dihancurkan oleh Hamengku Buwono I, Mangkunegoro I, dan oleh Belanda. Ajaran Islam dan jaringan ulama ditakuti karena dianggap berbahaya dalam konteks politik persaingan kekuasaan kolonial saat itu.
Apakah jaringan ulama itu juga membentuk berbagai pesantren?
Namun, usaha yang dilakukan Paku Buwono IV menyatukan Mataram gagal. Dan, dia kemudian diminta Belanda membunuh enam ulama utama keraton. Ketika itu terjadi, dia merasa telah mengalami kegagalan total. Menyadari kekalahan itu, dia kemudian berpikir bahwa satu-satunya jalan agar di kemudian hari bisa mewujudkan cita-citanya, dia menyatakan harus mendirikan pesantren, yakni Pesantren Jamsaren yang letaknya di sebelah selatan Keraton Solo.
Jadi, di sini para raja semenjak dahulu selalu memainkan politik agama sebagai suatu kekuatan. Dan, ini tidak hanya dilakukan Pakubuwono IV, tapi juga pihak raja lain, seperti Mangkunegara II yang hidup sezaman dengannya (awal 1800 M). Dalam buku Catatan Harian Prajurit Wanita Jawa Mangkunegaran yang diterjemahkan Ann Kumar, diceritakan kekecewaan orang Islam atas tragedi yang dialami Paku Buwono IV. Menurut catatan itu, para santri yang empati dan simpati kepada Raja Pakubuwono IV kemudian mengembara untuk menggalang kekuatan.
Tak hanya terjadi pada saat Paku Buwono IV bertakhta, tekanan terhadap jaringan ulama di selatan Jawa Tengah itu terus terjadi pada masa berikutnya. Contohnya, kemudian munculnya dalam Perang Jawa (1825-1830) tersebut. Juga pada masa Indonesia modern, yakni zaman Orde Baru, kekuatan ulama di Solo juga kembali ditekan. Situasi ini pun pada masa reformasi itu kemudian meledak menjadi kerusuhan.
Kalau begitu, jaringan ulama itu eksis mulai kapan?
Jadi, sebenarnya kalau dilihat pusat-pusat pesantren di selatan Jawa, sejak zaman dahulu memang punya sejarah radikal. Itulah yang selalu menjadi problem hubungan Islam dan kekuasaan di Jawa (khususnya di Jawa Selatan). Semenjak dahulu kala sudah terfriksi dengan kekerasan atau konflik antara agama dan pihak penguasa.
Kalau begitu, bagaimanakah pesantren kemudian terus bisa eksis meski berkali-kali dihancurkan oleh penguasa?
Namun, ketika kekuasaan itu mentok saat bernegoisasi dengan kekuatan ulama, pesantren itu dijadikan sasaran untuk dihancurkan. Namun di sini, bukan pihak raja yang langsung meruntuhkannya, melainkan melalui tindakan militer oleh Belanda. Jadi, raja dalam soal ini memakai cara ‘nabok nyilih tangan’ (memukul dengan meminjam tangan orang lain—Red).
Bila melihat kenyataan ini, kerap ulama itu berusaha mencari situasi ekuilibrium politik agar mereka bisa tetap eksis. Dan, sebagai cara agar para raja dan ulama tetap bisa menjaga hubungan harmonis antarkeduanya, munculah sosok mediator yang berasal dari para aristrokat (kaum bangsawan) yang pernah belajar di pesantren. Para aristokrat santri inilah yang kemudian menjadi pengurai masalah ketika muncul problem antara raja dan para ulama. Jadi, di sini kadang tercipta hubungan benci tapi rindu, ketika ada persoalan mereka bisa kompak, tapi ketika tak ada soal malah kerap berkonflik.
Bagaimana kemudian cara jaringan ulama terus membesar?
Jadi, tak hanya para bangsawan yang punya darah biru, para ulama yang ada di wilayah selatan Jawa Tengah pun punya darah yang sama. Harap diketahui, Raja Paku Buwono I ibunya adalah orang pesantren. Begitu juga Raden Mas Mutahar (Pangeran Diponegoro) yang juga punya ibu dari anak seorang ulama berpengaruh. Di sini, selain terjadi kawin-mawin antaranak pesantren, anak kiai dengan santri, para ulama juga melakukan hubungan perkawinan dengan para keluarga raja. Hubungan ulama dan keraton ini terus berkelindan dan seiring berputarnya zaman kemudian memintal jaringan yang kuat.
Nah, ketika para bupati tersebut punya kekuatan politik, antaranak mereka saling melakukan hubungan perkawinan. Setelah era itu, yakni setelah tahun 1830 dan seiring dimulainya masa tanam paksa, tak ada lagi anak raja (bangsawan) yang menikahi anak ulama. Jadi tahun 1830 merupakan titik poin dari keruntuhan relasi antara dua kekuatan, yakni ulama (pesantren) dan raja (keraton). Dan, situasinya masih tegang sampai sekarang.
Kalau begitu, bisa dikatakan peran dan posisi politik bernilai penting dalam penegakan eksistensi jaringan ulama?
Penyebaran pengaruh pesantren dan kaitannya dengan kekuasaan di Jawa itu bisa terlihat dalam Serat Centini. Di sana tersirat dengan jelas bahwa setelah penghancuran kekuatan ulama pada masa Raja Amangkurat, kekuatan ulama malah makin kuat dan luas, bukan malah melemah dan hilang.
Bagaimana dengan jaringan internasional yang ada di selatan Jawa Tengah itu, sebab di desa Somalangu Kebumen ada pesantren yang sudah sangat tua dan punya hubungan jaringan dengan Yaman dan Makassar?
Jadi, fakta ini mengonfirmasi bahwa para mufti di Makkah saat itu sudah punya pikiran bahwa Belanda atau bangsa Eropa akan menghancurkan Islam. Dan, mulai saat itu tarekat mengalami proses radikalisasi sebagai sarana melawan kekuatan penjajah. Maka, dalam konteks politik tarekat tak mistik lagi, tapi menjadi sangat rasional.
Maka, bila di pesantren tua di Kebumen dikeahui sejak akhir 1400-an M punya relasi dengan dunia internasional, memang begitu keadaannya. Relasi internasional itu malah sifatnya kini sudah kuat sekali. Dan, jaringan itu terus berhubung satu sama lain, bahkan sampai detik ini ulama tetap terhubung dengan ulama-ulama bukan tak hanya Yaman, melainkan Arab Saudi, Mesir, Sudah, dan Maroko.
Apa risikonya?
Pemerintah pun harus pula memberikan sarana dan perhatiannya. Jangan biarkan pesantren dan kaum Muslim terus hidup merana. Berdayakan mereka dan lepaskanlah dari kepenatan hidup serta kemiskinan. Bantulah pesantren sebaik mungkin.
Harus diakui, sampai kini di wilayah selatan Jawa Tengah itu saya melihat Islam sebagai kekuatan yang tidak pernah diberdayakan oleh negara. Bahkan, Islam kerap dimusuhi seperti pada zaman Soeharto yang lebih memilih mengakomodasi kekuatan militer dan Cina.
Jika artikel ini bermanfaat, bagikan ke orang terdekatmu. Bagikan informasi bermanfaat juga termasuk amal ho.... Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.News